BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan
tentang Islam dan budaya lokal kiranya sangat penting bagi perkembangan islam
dan umat islam dimasa-masa mendatang. Islam diturunkan sebagai agama kaffah sebagai pedoman hidup bagi setiap
manusia di dunia. Sejak masa Rasulullah, agama ini terus berkembang pesat
mengatasi ruang dan waktu. Secara mendasar, islam seperti maknanya, selamat
merupakan agama yang berkeinginan membawa umatnya kepada jalan keselamatan,
jalan kedamaian dan jalan kebahagiaan, dari dunia hingga akhirat kelak. Oleh
karena itu ajaran islam melampaui segala aspek kehidupan manusia di dunia,
secara jasmani maupun rohani. Aspek dunia-akhirat, jasmani-rohani, sebenarnya
bukan merupakan dua hal yang terpisah yang meski diutamakan salah satu.
Dengan
mengamalkan ajaran islam dengan baik, umat islam diharapkan mampu saksikan
aneka ragam cara pengamalan agama islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
konteks seperti inilah muncul istilah Islam Normatif (islam yang asli dan murni
dari Allah) dan Islam Historis (islam yang dipikirkan dan dipraktikkan orang
yang terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu).
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian Islam Normatif?
2. Apakah
pengertian Islam Historis?
3. Apa
saja yang dikelompokkan dalam Islam Normatif dan Historis?
4. Apa
hubungan antara islam Normatif dan Historis?
C. Tujuan
1. Untuk
menjelaskan pengertian Islam Normatif.
2. Untuk
menjelaskan pengertian Islam Historis.
3. Untuk
mengetahui dan menjelaskan apa saja yang dikelompokkan dalam Islam Normatif dan
Historis.
4. Untuk
mengetahui hubungan antara islam Normatif dan Historis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam Normatif
Kata
normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan
tantang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan. Pada aspek
normativitas, studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan
yang bersifat memihak sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis
terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah
terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecualli dalam lingkungan peneliti
tertentu yang masih sangat terbatas. Kata norma selanjutnya masuk ke dalam kosa
kata bahasa Indonesia dengan arti antara lain ukuran untuk menentukan sesuatu.
Islam
nnormatif adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Islam normative
adalah islam sebagai wahyu. Sebagai wahyu, islam didefinisikan sebagaimana
ditulis sebelumnya, yakni diatas yakni: Artinya “ Wahyu Illahi yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SAW, untuk
kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Islam
normatif yaitu islam yang benar, yang sejati, yang ideal, seperti yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Islam yang benar itu terdapat dalam kitab suci
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hadits termasuk dalam kategori islam normatif, karena
segala sesuatu yang berasal dari Nabi adalah kebenaran dan menjadi pegangan
bagi setiap umatnya. Semua yang berasal dari, yang dikatakan, yang diperbuat,
dan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad dijamin kebenarannya oleh Allah SWT.
Jaminan ini disebutkan dalam sebuah firman-Nya, “ Demi bintang ketika terbenam, kawanmu(Muhammad) tidak sesat dan tidak
pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya); yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat” (Q.S
An-Najm:1-5).
Satu-satunya
ajaran normatif yang keluar dari diri manusia adalah sabda Nabi yang hingga
kini menjadi sumber kedua ajaran islam setelah Al-Qur’an. Semua yang berasal
dari Nabi harus menjadi pegangan dan sekaligus contoh bagi semua ummatnya untuk
mengamalkan ajaran agama. Islam Normatif
mempunyai tingkat kebenaran mutlak. Islam Normatif adalah islam pada dimensi
sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan
universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhanan.
Dengan kata lain, islam normatif merupakan islam ideal atau islam yang
seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual islam, yaitu aturan-aturan islam
secara normatif yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya
absolute dan tidak dapat dipersoalkan. Pada umunnya normativitas ajaran wahyu
dibangun, diproses, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan
doctrinal teologis. Bahwa islam dalam bentuknya yang normatif tidak akan pernah
berubah dan berkembang. Islam normatif akan selalu shahih li kulli zaman wa
makan (melingkupi setiap ruang dan waktu) dan akan tetap menjadi sesuatu yang
ideal. Perubahan dan perkembangan hanya terjadi pada islam historis, karena
sifatnya yang selalu dinamis menyesuaikan berbagai perubahan kondisi, waktu dan
perbedaan tempat.[1]
Pendekatan normatif adalah sebuiah pendekatan yang
lebih menekankan aspek normatif dalam ajaran islam sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam dipandang
secara tekstual berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits selain itu dinyatakan bid’ah.
Kajian normatif melahirkan tradisi teks: tafsir, teologi, fiqh, tasawuf,
filsafat.
a. Tafsir:
tradisi penjelasan dan pemaknaankitab suci
b. Teologi:
tradisi pemikiran tentang persoalan Ketuhanan
c. Fiqh:
tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
d. Tasawuf:
tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
e. Filsafat:
tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan.[2]
B.
Pengertian Islam Historis
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, historis yaitu berkenaan dengan sejarah,
bertalian atau ada hubungannya degan masa lampau. Sedangkan historitas yaitu
segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, kesejarahan. Islam historis
atau islam sebagai produk sejarah adalah islam yang dipahami dan islam yang
dipraktekkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang. Sebelumnya telah dibahas tentang islam normatif,
yaitu islam yang benar, yang sejati, yang ideal seperti yang dikehendaki oleh
Allah SWT. Jika islam yang ideal, yang benar, seperti yang diajarkan dari Nabi
Muhammad SAW disebut sebagai islam normatif, maka islam seperti yang senyatanya
terjadi dalam masyarakat itulah yang
disebut dengan islam historis. Historis dalam bahasa inggris disebut historic
adalah bentuk kata sifat dari kata benda history. Histori kini telah banyak
digunakan sebagai kosa kata bahasa Indonesia, yang artinya sejarah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa islam historis adalah islam yang bersejarah atau islam
menyejarah. History (sejarah) itu
sendiri mempunyai pengertian sebagai peristiwa yang benar-benar telah terjadi,
yang terkait oleh ruang dan waktu.[3]
Dengan
demikian islam historis adalah islam yang benar- benar terjadi, yang
benar-benar diamalkan oleh manusia atau masyarakat, terkait dengan konteks
ruang dan waktu , kapan dan dimana islam diamalkan oleh manusia atau masyarakat
tersebut. Ada beberapa istilah lain yang semakna dengan istilah islam historis,
sebagai kontekstual, yaitu islam yang nyata terjadi yang diamalkan oleh
masyarakat, yang telah disesuaikan dengan konteks diri maupun lingkungannya.
Istilah islam kontekstual menjadi penyeimbangan terhadap istilah islam
tekstual, yaitu islam yang mutlak benar, yang ada dalam teks kitab suci,
Al-Qur’an maupun As-Sunah. Islam historis seperti yang nyata-nyata terjadi yang
dapat diamati dalam masyarakat. Karena bersifat empiris dan kontekstual, islam
historis seperti-seperti yang nyata-nyata diamalkan oleh masyarakat tidak
muncul dengan tiba-tiba, melainkan ada konteks yang melatarbelakangi. Salah
atau benar pengamalan agama islam seseorang sangat dipengaruhi ruang dan waktu
yang mereka alami. Oleh karena itu rasanya kurang bijak jika seseorang melihat
praktik agama seseorang dengan cepat menghakimi salah atau benar praktik
tersebut. Bila islam normatif adalah islam yang satu dan mutlak, maka islam
historis adalah islam yang sangat beraneka ragam. Keaneka ragaman islam di
masyarakat muncul karena berbagai kondisi ruang dan waktu di mana dan kapan
islam dipahami dan diamalkan oleh manusia.[4]
Awal
munculnya historisitas islam adalah dalam tingkat pemikiran. Ajaran islam
otentik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dibaca dan dipelajari oleh masyarakat dan
diamalkan. Pemahaman seseorang tentang ajaran islam keseluruhan itulah yang
dimaksud sebagai hasil pemikiran islam. Dalam kapasitas tertentu, pemahaman
atau pemikiran seseorang tentang islam. Dan sekecil apapun, ketika islam yang
absolute telah masuk pikiran manusia, hasil pemahaman mereka telah masuk
wilayah islam historis. Banyak para pemikir, para ulama dan karya-karyanya, dan
juga banyak aliaran-aliran kalam menunjukkan bahwa pemikir kalam dari para
tokoh tersebut merupakan bagian dari ajaran islam yang bersifat historis. Islam
historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada di dalam ruang dan waktu. Maksudnya, islam semacam ini
terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, karena memang berada di bawah
realitas ke-Tuhanan. Dengan kata lain, islam historis merupakan islam riil atau
islam yang senyatanya. Bentuknya berupa aspek kontekstual islam, yaitu
penerapan secara praktis dari islam normatif. Maksudnya, wujud islam historis
tersebut diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui
berbagai pendekatan di berbagai bidang yang menghasilkan berbagai disiplin
ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqih, ushul al-fiqh, kalam, tasawuf dan
lain-lain yang keberadaanya masih bersifat relatif dan terbuka untuk dipersoalkan.[5]
Pendekatan
Historis, dalam pemahaman kajian islam historis, tidak ada konsep atau hukum
islam yang bersifat tetap semua bisa berubah. Kaum historis memiliki pemahaman
tentang hukum islam yang mana hukum islam itu adalah produk dari pemikiran
ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Dalam kajian islam historis
ditekankan aspek realitivitas pemahaman keagamaan. Pemahaman manusia terhadap
ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks budaya
sosial tertentu. Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi
empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama, dan sebagainya.
a. Antropologi
agama: disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam dalam
hubungannya dengan kebbudayaan
b. Sosiologi
agama: disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam
hubungannya dengan agama
c. Psikologi
agama: disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya
dengan agama.[6]
C.
Pengelompokan Islam Normatif dan Islam
Historis
Ketika
melakukan studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan islam
mana yang diteliti. Maka penyebutan islam normatif dan islam historis adalah
salah satu dari penyebutan level tersebut. Istilah yang hampir sama dengan
islam normatif dan islam historis adalah islam sebagai wahyu dan islam sebagai
produk sejarah. Sebagai wahyu islam didefinisikan sebagaimana yang dituliskan
sebelumnya di atas yaitu: Artinya “ Wahyu
Illahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk lebahagiaan kehidupan
dunia dan akhirat “.
Sedangkan
islam historis atau islam sebagai produk sejarah adalah islam yang dipahami dan
islam yang dipraktikkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa
Nabi Muhammad sampai sekarang. Pengelompokan islam normatif dan islam historis
menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah:
1. Wilayah
teks asli islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad yang otentik.
2. Pemikiran
islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli islam (Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad), Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli
islam, seperti tafsir dan fiqih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab
ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu tidak semua
terinci, bahkan sebagian masih bersifat global yang membutuhkan penjabaran
lebih lanjut. Di samping permasalahan kehidupan selalu berkembang terus,
sedangkan secara tegas permasalahan yang timbul itu belum atau tidak
disinggung. Karena itu diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap
bersandar kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan.
Dalam kelompok ini dapat ditemukan empat pokok cabang :
a. Hukum
atau fiqih
b. Teologi
c. Filsafat
d. Tasawuf
Hasil
ijtihad dalam bidang hukum muncul dalam bentuk :
a. Fiqih
b. Fatwa
c. Yurisprudensi(kumpulan
putusan hakim
3. Praktek
yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam beberapa macam dan bentuk
sesuai dengan latar belakang sosial (konteks) contohnya:
a. Praktek
sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada
b. Praktek
duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim Indonesia sementara muslim di
tempat/negara lain tidak melakukannya.
Abdullah
Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan bentuk yang berbeda sebagai
berikut:
a. Tingkatan
pertama adalah nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan
institusi-institusi
b. Tingkatan
kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilali-nilai dasar
tersebut dapat dilaksanakan atau dipraktekkan.
c. Tingkatan
ketiga manifestasi atau praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut
yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah
dengan wilayah lain. Perbedaan terjadi karena perbedaan penafsiran dan
perbedaan konteks dan budaya.[7]
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis
sebelumnya, islam didefinisikan sebagai wahyu. Pada level ini, islam identik
dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Pada masa pewahyuannaya memakan waktu kurang lebih 23 tahun. Pada teks ini
islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat sejumlah
ilmuwan (ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Nash
prinsip atau normatif universal
Nash prinsip atau normatif
universal, merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah
diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika Nabi masih
hihdup.
2. Nash
Praktis Temporal
Nash praktis temporal, sebagian
ilmuan menyebutkan nash konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk
menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula islam dapat
menjadi fenomena sosial atau islam aplikatif atau islam praktis.
Dengan
penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the original text
mempunyai karakter mutlak dan absolute, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh
sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi atau
relatif dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks, konteks zaman, konteks
sosial, konteks tempat dan konteks lain-lain. Sementara dengan menggunakan
teori islam pada level teori dan islam pada level praktek dapat dijelaskan
demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at pada level praktek perlu dianalogkan
dengan posisi nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dapat
disebutkan bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap
masalah yang dihadapi masyarakat Arab di masa pewahyuan. Perbedaan antara nash
dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan pada Nabi Muhammad,
sementara format yang kita rumuskan sekarang adalah format yang dilandaskan
pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan, sebab persoalan selalu
berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu sudah berhenti dengan
meninggalnya Nabi Muhammad SAW.[8]
D.
Hubungan antara Islam Normatif dan
Historis
Hubungan
antara keduanya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan
dialekis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks
dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu
menganggap yang lain sebagai ancaman. Menentukan bentuk hubungan yang pas
antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan
antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika
masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat
nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing
tradisi keilmuan. Menurut ijtihat, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya
adalah ibarat sebuah koin dengannya dua permukaan. Hubungan antara keduanya
tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan
keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya
teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam
satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan
tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku
fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari
belenggu dan jebakan ruang dan waktu.[9]
BAB
III
KESIMPULAN
Islam Normatif adalah islam pada dimensi sakral yang
diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal,
melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhanan. Islam
Historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks
kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah
realitas ke-Tuhanan. Pengelompokan Islam normatif dan Islam historis menurut
Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain). Pertama, wilayah teks asli islam (the
original text of islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
Kedua, pemikiran islam merupakan
ragam menafsirkan terhadap teks asli islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli islam, seperti tafsir
dan fiqih. Ketiga, praktek yang
dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk
sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya: praktek sholat muslim
di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada. Hubungan diantara keduanya
dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika
ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks.
Sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang
lain sebagai ancaman. Perlu kiranya
dikaji dan ditelaah ulang secara kritis, analisis, akademis dan sekaligus
dialektis sesuai dengan kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA