Kamis, 07 April 2016

Pengantar Studi Islam (islam normatif dan historis)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembahasan tentang Islam dan budaya lokal kiranya sangat penting bagi perkembangan islam dan umat islam dimasa-masa mendatang. Islam diturunkan sebagai agama kaffah sebagai pedoman hidup bagi setiap manusia di dunia. Sejak masa Rasulullah, agama ini terus berkembang pesat mengatasi ruang dan waktu. Secara mendasar, islam seperti maknanya, selamat merupakan agama yang berkeinginan membawa umatnya kepada jalan keselamatan, jalan kedamaian dan jalan kebahagiaan, dari dunia hingga akhirat kelak. Oleh karena itu ajaran islam melampaui segala aspek kehidupan manusia di dunia, secara jasmani maupun rohani. Aspek dunia-akhirat, jasmani-rohani, sebenarnya bukan merupakan dua hal yang terpisah yang meski diutamakan salah satu.
Dengan mengamalkan ajaran islam dengan baik, umat islam diharapkan mampu saksikan aneka ragam cara pengamalan agama islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks seperti inilah muncul istilah Islam Normatif (islam yang asli dan murni dari Allah) dan Islam Historis (islam yang dipikirkan dan dipraktikkan orang yang terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Islam Normatif?
2.      Apakah pengertian Islam Historis?
3.      Apa saja yang dikelompokkan dalam Islam Normatif dan Historis?
4.      Apa hubungan antara islam Normatif dan Historis?

C.     Tujuan
1.      Untuk menjelaskan pengertian Islam Normatif.
2.      Untuk menjelaskan pengertian Islam Historis.
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan apa saja yang dikelompokkan dalam Islam Normatif dan Historis.
4.      Untuk mengetahui hubungan antara islam Normatif dan Historis.         


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Islam Normatif
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tantang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.         Pada aspek normativitas, studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecualli dalam lingkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas. Kata norma selanjutnya masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia dengan arti antara lain ukuran untuk menentukan sesuatu.
Islam nnormatif adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Islam normative adalah islam sebagai wahyu. Sebagai wahyu, islam didefinisikan sebagaimana ditulis sebelumnya, yakni diatas yakni: Artinya “ Wahyu Illahi yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SAW, untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Islam normatif yaitu islam yang benar, yang sejati, yang ideal, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Islam yang benar itu terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hadits termasuk dalam kategori islam normatif, karena segala sesuatu yang berasal dari Nabi adalah kebenaran dan menjadi pegangan bagi setiap umatnya. Semua yang berasal dari, yang dikatakan, yang diperbuat, dan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad dijamin kebenarannya oleh Allah SWT. Jaminan ini disebutkan dalam sebuah firman-Nya, “ Demi bintang ketika terbenam, kawanmu(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya); yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat” (Q.S An-Najm:1-5).
Satu-satunya ajaran normatif yang keluar dari diri manusia adalah sabda Nabi yang hingga kini menjadi sumber kedua ajaran islam setelah Al-Qur’an. Semua yang berasal dari Nabi harus menjadi pegangan dan sekaligus contoh bagi semua ummatnya untuk mengamalkan ajaran agama. Islam Normatif            mempunyai tingkat kebenaran mutlak. Islam Normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhanan. Dengan kata lain, islam normatif merupakan islam ideal atau islam yang seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual islam, yaitu aturan-aturan islam secara normatif yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya absolute dan tidak dapat dipersoalkan. Pada umunnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diproses, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doctrinal teologis. Bahwa islam dalam bentuknya yang normatif tidak akan pernah berubah dan berkembang. Islam normatif akan selalu shahih li kulli zaman wa makan (melingkupi setiap ruang dan waktu) dan akan tetap menjadi sesuatu yang ideal. Perubahan dan perkembangan hanya terjadi pada islam historis, karena sifatnya yang selalu dinamis menyesuaikan berbagai perubahan kondisi, waktu dan perbedaan tempat.[1]
Pendekatan normatif adalah sebuiah pendekatan yang lebih menekankan aspek normatif dalam ajaran islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam pandangan islam normatif kemurnian islam dipandang secara tekstual berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits selain itu dinyatakan bid’ah. Kajian normatif melahirkan tradisi teks: tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
a.       Tafsir: tradisi penjelasan dan pemaknaankitab suci
b.      Teologi: tradisi pemikiran tentang persoalan Ketuhanan
c.       Fiqh: tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
d.      Tasawuf: tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
e.       Filsafat: tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan.[2] 
B.     Pengertian Islam Historis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, historis yaitu berkenaan dengan sejarah, bertalian atau ada hubungannya degan masa lampau. Sedangkan historitas yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, kesejarahan. Islam historis atau islam sebagai produk sejarah adalah islam yang dipahami dan islam yang dipraktekkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Sebelumnya telah dibahas tentang islam normatif, yaitu islam yang benar, yang sejati, yang ideal seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Jika islam yang ideal, yang benar, seperti yang diajarkan dari Nabi Muhammad SAW disebut sebagai islam normatif, maka islam seperti yang senyatanya terjadi dalam  masyarakat itulah yang disebut dengan islam historis. Historis dalam bahasa inggris disebut historic adalah bentuk kata sifat dari kata benda history. Histori kini telah banyak digunakan sebagai kosa kata bahasa Indonesia, yang artinya sejarah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa islam historis adalah islam yang bersejarah atau islam menyejarah. History (sejarah)  itu sendiri mempunyai pengertian sebagai peristiwa yang benar-benar telah terjadi, yang terkait oleh ruang dan waktu.[3]
Dengan demikian islam historis adalah islam yang benar- benar terjadi, yang benar-benar diamalkan oleh manusia atau masyarakat, terkait dengan konteks ruang dan waktu , kapan dan dimana islam diamalkan oleh manusia atau masyarakat tersebut. Ada beberapa istilah lain yang semakna dengan istilah islam historis, sebagai kontekstual, yaitu islam yang nyata terjadi yang diamalkan oleh masyarakat, yang telah disesuaikan dengan konteks diri maupun lingkungannya. Istilah islam kontekstual menjadi penyeimbangan terhadap istilah islam tekstual, yaitu islam yang mutlak benar, yang ada dalam teks kitab suci, Al-Qur’an maupun As-Sunah. Islam historis seperti yang nyata-nyata terjadi yang dapat diamati dalam masyarakat. Karena bersifat empiris dan kontekstual, islam historis seperti-seperti yang nyata-nyata diamalkan oleh masyarakat tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan ada konteks yang melatarbelakangi. Salah atau benar pengamalan agama islam seseorang sangat dipengaruhi ruang dan waktu yang mereka alami. Oleh karena itu rasanya kurang bijak jika seseorang melihat praktik agama seseorang dengan cepat menghakimi salah atau benar praktik tersebut. Bila islam normatif adalah islam yang satu dan mutlak, maka islam historis adalah islam yang sangat beraneka ragam. Keaneka ragaman islam di masyarakat muncul karena berbagai kondisi ruang dan waktu di mana dan kapan islam dipahami dan diamalkan oleh manusia.[4]
Awal munculnya historisitas islam adalah dalam tingkat pemikiran. Ajaran islam otentik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dibaca dan dipelajari oleh masyarakat dan diamalkan. Pemahaman seseorang tentang ajaran islam keseluruhan itulah yang dimaksud sebagai hasil pemikiran islam. Dalam kapasitas tertentu, pemahaman atau pemikiran seseorang tentang islam. Dan sekecil apapun, ketika islam yang absolute telah masuk pikiran manusia, hasil pemahaman mereka telah masuk wilayah islam historis. Banyak para pemikir, para ulama dan karya-karyanya, dan juga banyak aliaran-aliran kalam menunjukkan bahwa pemikir kalam dari para tokoh tersebut merupakan bagian dari ajaran islam yang bersifat historis. Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada di dalam ruang dan waktu. Maksudnya, islam semacam ini terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, karena memang berada di bawah realitas ke-Tuhanan. Dengan kata lain, islam historis merupakan islam riil atau islam yang senyatanya. Bentuknya berupa aspek kontekstual islam, yaitu penerapan secara praktis dari islam normatif. Maksudnya, wujud islam historis tersebut diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui berbagai pendekatan di berbagai bidang yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqih, ushul al-fiqh, kalam, tasawuf dan lain-lain yang keberadaanya masih bersifat relatif dan terbuka untuk dipersoalkan.[5]
Pendekatan Historis, dalam pemahaman kajian islam historis, tidak ada konsep atau hukum islam yang bersifat tetap semua bisa berubah. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum islam yang mana hukum islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Dalam kajian islam historis ditekankan aspek realitivitas pemahaman keagamaan. Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks budaya sosial tertentu. Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama, dan sebagainya.
a.       Antropologi agama: disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam dalam hubungannya dengan kebbudayaan
b.      Sosiologi agama: disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama
c.       Psikologi agama: disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.[6]
C.     Pengelompokan Islam Normatif dan Islam Historis
Ketika melakukan studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan islam mana yang diteliti. Maka penyebutan islam normatif dan islam historis adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Istilah yang hampir sama dengan islam normatif dan islam historis adalah islam sebagai wahyu dan islam sebagai produk sejarah. Sebagai wahyu islam didefinisikan sebagaimana yang dituliskan sebelumnya di atas yaitu: Artinya “ Wahyu Illahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk lebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat “.
Sedangkan islam historis atau islam sebagai produk sejarah adalah islam yang dipahami dan islam yang dipraktikkan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa Nabi Muhammad sampai sekarang. Pengelompokan islam normatif dan islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah:
1.      Wilayah teks asli islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
2.      Pemikiran islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad), Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli islam, seperti tafsir dan fiqih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas permasalahan yang timbul itu belum atau tidak disinggung. Karena itu diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan. Dalam kelompok ini dapat ditemukan empat pokok cabang :
a.       Hukum atau fiqih
b.      Teologi
c.       Filsafat
d.      Tasawuf
Hasil ijtihad dalam bidang hukum muncul dalam bentuk :
a.       Fiqih
b.      Fatwa
c.       Yurisprudensi(kumpulan putusan hakim
3.      Praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam beberapa macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks) contohnya:
a.       Praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada
b.      Praktek duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim Indonesia sementara muslim di tempat/negara lain tidak melakukannya.
Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan bentuk yang berbeda sebagai berikut:
a.       Tingkatan pertama adalah nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan institusi-institusi
b.      Tingkatan kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilali-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan atau dipraktekkan.
c.       Tingkatan ketiga manifestasi atau praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan terjadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.[7]
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, islam didefinisikan sebagai wahyu. Pada level ini, islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Pada masa pewahyuannaya memakan waktu kurang lebih 23 tahun. Pada teks ini islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat sejumlah ilmuwan (ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1.      Nash prinsip atau normatif universal
Nash prinsip atau normatif universal, merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika Nabi masih hihdup.
2.      Nash Praktis Temporal
Nash praktis temporal, sebagian ilmuan menyebutkan nash konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula islam dapat menjadi fenomena sosial atau islam aplikatif atau islam praktis.
Dengan penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the original text mempunyai karakter mutlak dan absolute, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi atau relatif dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks, konteks zaman, konteks sosial, konteks tempat dan konteks lain-lain. Sementara dengan menggunakan teori islam pada level teori dan islam pada level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dapat disebutkan bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah yang dihadapi masyarakat Arab di masa pewahyuan. Perbedaan antara nash dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan pada Nabi Muhammad, sementara format yang kita rumuskan sekarang adalah format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan, sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu sudah berhenti dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW.[8]
D.    Hubungan antara Islam Normatif dan Historis
Hubungan antara keduanya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan dialekis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman. Menentukan bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan. Menurut ijtihat, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah koin dengannya dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.[9]








BAB III
KESIMPULAN

Islam Normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhanan. Islam Historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhanan. Pengelompokan Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain). Pertama, wilayah teks asli islam (the original text of islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli islam, seperti tafsir dan fiqih. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya: praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada. Hubungan diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks. Sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.  Perlu kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis, analisis, akademis dan sekaligus dialektis sesuai dengan kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya.                                                                                                                                 










DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar