Kamis, 12 Mei 2016

Makalah Hadits Prakodifikasi (hadits periode Rasul,Sahabat dan Tabi'in)



SEJARAH HADITS PRAKODIFIKASI
(Hadits pada Periode Rasul, Sahabat dan Tabi’in)

MAKALAH

 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


"Ulumul Hadits"
Dosen Pembimbing
 M. Asep Fathur Rozi, M.Pd.I

 




Disusun Oleh :  

 Supriati  
20154711045

PAI A-SMT 2



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (2-A)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM) TULUNGAGUNG
MARET 2016




KATA PENGANTAR



Berkat rahmad dan hidayah dari Allah Swt. Penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul ”Sejarah Hadits Prakodifikasi: Hadits pada periode Rasul, Sahabat dan Tabi’in” Dalam menyusun makalah ini, syukur Alhamdulillah penulis tidak menjumpai hambatan atau masalah yang serius. Semua itu berkat fasilitas yang telah diberikan oleh lembaga baik berupa perpustakaan, free wifi maupun sarana dan prasarana yang lain. Oleh sebab itu penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1.      Nurul Amin, M.Ag selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulungagung
2.      M.Asep Fathur Rozi, M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits
3.      Teman-teman yang telah memberikan banttuan baik konseptual maupun tenaga dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini
Penulis menyadari betul bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Disamping itu, penulis juga berharap semoga materi yang dipaparkan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis khususnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Tulungagung, 16 April 2016                                                                                                                                                                         
                                
        Penulis






DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.     Tujuan Pembahasan................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Hadits pada Periode Rasul........................................................................ 2
B.     Hadits pada Periode Sahabat...........................                                        .4  
C.     Hadits pada Periode Tabi’in......................................................................7

 BAB III PENUTUP

Kesimpulan ......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 11
  



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa depan.
Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Keberaberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa prakodifikasi, zaman Nabi, sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekawatiran Nabi akan tercampurnya Nash-Al-qur’an dengan hadits. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah hadits pada periode Rasulullah SAW ?
2.      Bagaimana sejarah hadits pada periode Sahabat ?
3.      Bagaimana sejarah hadits pada periode Tabi’in ?

C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk menjelaskan sejarah hadits pada periode Rasulullah SAW
2.      Untuk menjelaskan sejarah hadits pada periode Sahabat
3.      Untuk menjelaskan sejarah hadits pada periode Tabi’in







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadist pada Periode Rasul
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits. Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan.
1.      Cara Rasulullah menyampaikan hadist
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz)
2.      Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
      Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa. Bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
3.      Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor:
a.       para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.
b.      karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن كتب شيُا فليمحه
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.[1]
4.      Aktifitas menulis hadist
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist  menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:

 لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;idAl-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda

اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak  keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut: 
a.       Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b.       Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
c.       Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
B.     Hadist pada Periode Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar. Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
 
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُن                                                                                                                         ”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).[2]
Di samping itu beliau memerintahkan  para sahabat supaya berhati-hati dan memeriksa benar-benar suatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, para sahabatpun sesudah wafat Rasulullah sedikit demi sedikit menyampaikan hadits kepada orang lain. Mereka menyampaikan amanah. Nabi sendiri sering mempergunakan waktu yang khusus untuk memberikan pelajaran kepada para wanita. Pernah orang-orang perempuan meminta kepada Nabi supaya mengadakan majelis yang khusus untuk mereka. Para sahabat sesudah wafat Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para sahabat itu, dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan Tabi;in. Pada masa itu riwayat hadits dipermulaan masa sahabat masih terbatas sekali, disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadits dan membanyakkan riwayatnya terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar. Tegasnya masa Utsman dan Ali. [3]
 hadist ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw.
1.       Abu Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan  hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali, setelah itu ia membakarnya.
2.      Umar bin Khattab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.
Banyak ayat maupun hadits yang menerangkan tentang kedudukan hadits dalam islam. Hadits sebagai sumber hukum kedua menuntut para sahabat untuk selalau berpegang teguh dengan hadits dan mengamalkannya. Sayyidina Umar sebagaimana diriwayatkan Imam Bukori merupakan contoh dalam hal ini. Sayyidina Umar berkata “saya bergantian dengan tetanggaku dari Bani Umayah bin Zaid untuk hadir di majlis Rasulullah SAW” Masih banyak sahabat-sahabat lain yang menerangkan abu Musa dll. Setelah Nabi SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits. Mereka sangat berpegang teguh pada pesan Rasulullah menjelang akhir kerasulannya. Sebagaimana sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله (رواه     الحاكم)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat. Yakni kitabullah dan sunnah RasulNya.
Dan sabdanya pula:
بلغوا عني ولو أية (رواه البخاري)
Artinya: “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.

Usaha yang dilakukan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin) dalam menjaga otentitas riwayat tidak sama. Pada masa Abu Bakar dan Umar, usaha penyaringan diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadad riwayat yang disampaikannya. Pada masa Utsman, penyaringan terhadap riwayat mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Umar, bahkan diceritakan ia pernah menyampaikan khutbah dan menyatakan “Seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa Abu Bakar dan Umar”. Pada masa Ali, selain melalui persaksian, ia menggunakan metode lain dalam menerima suatu riwayat yakni dengan disertai sumpah bahwa ia telah mendengar riwayat dari Rasul. Hukum kebolehan menulis hadits terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarruj).[4]
Pada saat wahyu turun, umat Islam berkonsentrasi untuk menghafal dan menulisnya. Sunnah hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan. Kemudian setelah Al Quran dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al Quran, sehingga para ulama’ sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah. Banyak sekali pada masa awal Islam penulisan hadits sebagai catatan pribadi bukan penulisan resmi dari khilafah, diantaranya:
1.      Ash Shahifah Ash Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H), memuat kurang lebih 1000 hadits.
  1. Ash Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al Anshari (w. 78 H) tentang manasik haji yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
  2. Ash Shahifah Ash Shahihah, catatan seorang tabi’in Hammam bin Munabbih. Haditsnya banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah sebanyak 138 hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al Bukhari dalam berbagai bab.
  3. Ash Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abu Syah pada masa fath (penaklukan) Makkah.  
Selain itu, ada 6 orang di antara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadits ialah:
1.      Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadits 
   2. Abdullah bin Umar bin Al Khathab sebanyak 2.635 buah hadits
  3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits
4.      Aisyah binti Abu Bakar sebanyak 2.210 buah hadits
5.      Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadits
6.      Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadits ada beberapa alasan, diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau karena ketekunannya dalam Hadits seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah. Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat pergolakan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah, diantaraya Khawarij, Syi’ah (pendukung Ali), dan Jumhur Muslimin (ada yang mendukung Ali, Mu’awiyah, dan ada pula yang netral). Akibatnya banyak muncul hadits palsu (maudhu’) yang dibuat masing-masing kelompok itu untuk membenarkan kelompok mereka masing-masing. Demikian perhatian para sahabat terhadap sunnah. Mereka mereka rela meninggalkan kampung halaman dan rela mengorbankan harta benda untuk bekal perjalanan mencari hadits dari para sahabat senior yang telah tersebar di berbagai kota dalam tugas dakwahnya.[5]
C.     Hadits pada Periode Tabi’in
Sesudah masa Usman dan Ali timbullah usaha yang sungguh untuk mencari dan menghafal hadits serta menebarkannya ke dalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawanan untuk mencari hadits. Pada tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syam dan Irak. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menakhlukkan Spanyol. Dalam fase ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits” yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.
Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist. Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan. Pada masa ini persoalan yang dihadapi sudah berbeda dengan pada masa sahabat. Al Quran sudah. dikumpulkan dalam satu mushhaf, begitu pula wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, sehingga para sahabat banyak yang terpencar di berbagai kota dan banyak pula yang telah gugur dalam peperangan dan sebagainya. Keadaan yang seperti ini mendorong Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) untuk menghimbau adanya penghimpunan dan pembukuan hadits secara menyeluruh, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik di kalangan sahabat maupun tabi’in. Namun pendapat yang paling popular adalah Muhammad bin Muslin bin Asy Syihab Az Zuhri. Pembukuan hadits yang dilakukan oleh Ibnu Syihab itu merupakan pembukuan secara umum dan menyeluruh serta atas instruksi langsung dari seorang Khalifah pada masa pemerintahan Islam saat itu, yakni pada pertengahan awal abad kedua hijriyah. Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1.      Al Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik.
2.      Al Mushannaf oleh Abdul Rozaq bin Hammam Ash Shan’ani.
3.      As Sunnah oleh Abd bin Manshur.
4.      Al Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
5.      Musnad Asy Syafi’i.
Diantara tokoh-tokoh hadits dalam kalangan Tabi’in yang masyur dalalm bidang riwayat:
1.      Madinah:
Sa’id, Urwah, Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam, Ubaidullah ibn Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, Nafi’, Az Zuhry, Abul Zinad, Kharijah ibn Zaid, Abu Salamah ibn Abdir Rahman ibn Auf.
2.      Di Makkah:
Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair, Muhammad ibn Muslim.
3.      Di Kufah
Asy Sya’by, Ibrahim An Nakha’y, Alqamah An Nakha’i
4.      Di Bashrah
Al Hasan, Muhammad ibn Sirin, Qatadah
5.      Di Syam
Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’bul Akbar
6.      Di Mesir
Abu’I Khair Marstad ibn Abdullah Al Yaziny, Yazid ibn Habib
7.      Di Yaman
Thaus ibn Kaisan Al Yamani, Wahab ibn Munabbih
Kota-kota yang menjadi pusat hadits ialah: 
1.      Madinah
Diantara tokoh-tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan sahabat ialah: Abu Bakar, Umar, Ali, (sebelum berpindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit. Diantara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada sahabat-sahabat itu ialah: Sa’id, Urwah, Az Zuhry, Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdullah ibn Umar.
2.      Makkah
Diantara tokoh hadits Makkah ialah: Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Diantara Tabi’in yang belajar padanya, ialah: Mujahid, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair Muhammad ibn Muslim.
3.      Syam
Tokoh hadits dari sahabat di Syam ini ialah: Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamid dan Abu Darda. Pada beliau-beliau itulah banyak tabi’in belajar di antaranyan: Abu Idris Al Khaulany, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ ibn Haiwah.
4.      Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah ialah: Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Said ibn Zaid, Khabbab ibn Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir dan lain-lain[6]


BAB III
KESIMPULAN


Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya pada Masa Rasul SAW dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain, pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan. Hadist Pada Masa Sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal mbukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah
agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an, para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
Hadist pada masa tabi’in, pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga belum ada hadist yang terkodifikasi. karena para tabi’in mengangggap bahwa nabi
masih tidak secara jelas menyuruh untuk menulis hadis, sehingga apa yang dilakukan para tabi’n sama dengan para sahabat. Jadi para sahabat maupun tabii’in sama – sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis hadis tapi itu cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi setelah itu disuruh membakarnya. Begitulah perjalanan prakodifikasi baik pada masa sahabat maupun tabi’in tidak banyak perubahan, merka masih ,mengandalkan hafalan.



DAFTAR PUSTAKA

Smerr. Zaid B, 2008, Ulumul Hadits: Pengantar Studi Hadits Praktis, Malang: UIN Malang
Press
Ash Shiddieqy. Muhammad Hasbi, 1989, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, Jakarta: Bulan
Bintang







[2]  Ibid
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 61
[4]  Zaid B Smeer, Ulumul Hadits: Pengantar Studi HaditsPraktis, (Malang: UIN Malang, 2008), hlm. 20
[6]  M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cid, hlm.69-75






Tidak ada komentar:

Posting Komentar