SEJARAH HADITS PRAKODIFIKASI
(Hadits pada Periode Rasul, Sahabat
dan Tabi’in)
MAKALAH
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
"Ulumul Hadits"
Dosen Pembimbing
M. Asep Fathur Rozi, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Supriati
20154711045
PAI A-SMT 2
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(2-A)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MUHAMMADIYAH
(STAIM) TULUNGAGUNG
MARET 2016
Berkat rahmad dan
hidayah dari Allah Swt. Penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
”Sejarah Hadits Prakodifikasi: Hadits pada periode Rasul, Sahabat dan Tabi’in” Dalam
menyusun makalah ini, syukur Alhamdulillah penulis tidak menjumpai hambatan
atau masalah yang serius. Semua itu berkat fasilitas yang telah diberikan oleh
lembaga baik berupa perpustakaan, free wifi maupun sarana dan prasarana yang
lain. Oleh sebab itu penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Nurul
Amin, M.Ag selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulungagung
2. M.Asep
Fathur Rozi, M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits
3. Teman-teman
yang telah memberikan banttuan baik konseptual maupun tenaga dalam
menyelesaikan penyusunan makalah ini
Penulis menyadari betul
bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Disamping itu, penulis
juga berharap semoga materi yang dipaparkan dalam makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca umumnya dan penulis khususnya. Tulungagung, 16 April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan Pembahasan................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Hadits pada Periode Rasul........................................................................ 2
B.
Hadits pada Periode Sahabat........................... .4
C.
Hadits pada Periode Tabi’in......................................................................7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
......................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Apabila
kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini
adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang
menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa
depan.
Hadist adalah salah satu pedoman
hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum
islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah
dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Keberaberadaan hadits sebagai
salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan
penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa prakodifikasi, zaman Nabi, sahabat
dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan hadits pada
masa awal lebih banyak menggunakan lisan dikarenakan larangan Nabi untuk
menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekawatiran Nabi akan
tercampurnya Nash-Al-qur’an dengan hadits. Mudah-mudahan dengan mengetahui
sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman
yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah hadits pada periode Rasulullah SAW ?
2. Bagaimana sejarah hadits pada periode Sahabat ?
3. Bagaimana sejarah hadits pada periode Tabi’in ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk menjelaskan sejarah hadits
pada periode Rasulullah SAW
2. Untuk menjelaskan sejarah hadits
pada periode Sahabat
3. Untuk menjelaskan sejarah hadits
pada periode Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Hadist pada Periode Rasul
Membicarakan hadits pada masa Rasul
SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya
akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits. Rasul membina
umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan
sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih
memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan
diuraikan beberapa hal yang berkaitan.
1. Cara Rasulullah menyampaikan hadist
Rasulullah
dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul
untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di
majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau
selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para
sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul
dalam majelis Nabi Saw. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat
kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa
hadir (ikhadz)
2. Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima
hadits bertanya langsung kepada Nabi
Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, seperti masalah hukum syara’
dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin
al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu
diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah
biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui
utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan
puasa. Bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui
hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran
dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
3. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada
zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini
disebabkan oleh dua factor:
a. para sahabat mengandalkan kekuatan
hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.
b. karena adanya larangan menulis hadis
nabi.
Abu sa’id
al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن
كتب شيُا فليمحه
Janganlah
menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku
hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena
adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa
melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya
hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai
baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat
tertentu diperbolehkan.[1]
4. Aktifitas menulis hadist
Bahwasanya
sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang
mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang
senang dan kompeten menulis hadist
menjelang akhir kehidupan Rosulullah.
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW
belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun beberapa sahabat yang
menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw.
penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang
larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang
siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu
Sa;idAl-Khudry)
Tetapi
disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan
penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw.
bersabda
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
”
tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan,
maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
a. Bahwa larangan menulis hadist itu
terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur
dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan
telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah
dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b. Bahwa larangan menulis hadist itu
bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang
memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin
Ash.
c. Bahwa larangan menulis hadist
ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
B.
Hadist pada Periode Sahabat
Periode
kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah
Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut
dengan sahabat besar. Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan
kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta
mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُن ”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).[2]
Di samping itu beliau memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan
memeriksa benar-benar suatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang lain.
Oleh karena itu, para sahabatpun sesudah wafat Rasulullah sedikit demi sedikit
menyampaikan hadits kepada orang lain. Mereka menyampaikan amanah. Nabi sendiri
sering mempergunakan waktu yang khusus untuk memberikan pelajaran kepada para
wanita. Pernah orang-orang perempuan meminta kepada Nabi supaya mengadakan
majelis yang khusus untuk mereka. Para sahabat sesudah wafat Rasul tidak lagi
berdiam di kota Madinah, mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota
lainpun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para
sahabat itu, dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan
Tabi;in. Pada masa itu riwayat hadits dipermulaan masa sahabat masih terbatas
sekali, disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja belum
bersifat pelajaran. Perkembangan hadits dan membanyakkan riwayatnya terjadi
sesudah masa Abu Bakar dan Umar. Tegasnya masa Utsman dan Ali. [3]
hadist ada dua jalan
sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw.
1.
Abu
Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim
bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus
hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali, setelah itu ia
membakarnya.
2.
Umar
bin Khattab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin
mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul
lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama
sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku
ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis
kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab
Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kitab Allah (al-Quran)
dengan yang lain selamanaya.
Banyak ayat maupun hadits yang
menerangkan tentang kedudukan hadits dalam islam. Hadits sebagai sumber hukum
kedua menuntut para sahabat untuk selalau berpegang teguh dengan hadits dan
mengamalkannya. Sayyidina Umar sebagaimana diriwayatkan Imam Bukori merupakan
contoh dalam hal ini. Sayyidina Umar berkata “saya bergantian dengan tetanggaku
dari Bani Umayah bin Zaid untuk hadir di majlis Rasulullah SAW” Masih banyak
sahabat-sahabat lain yang menerangkan abu Musa dll. Setelah Nabi SAW wafat para
sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits. Mereka
sangat berpegang teguh pada pesan Rasulullah menjelang akhir kerasulannya.
Sebagaimana sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن
تمسكتم بهما كتا ب الله و سنة رسوله (رواه
الحاكم)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka.
Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat. Yakni
kitabullah dan sunnah RasulNya.”
Dan
sabdanya pula:
بلغوا عني ولو أية (رواه
البخاري)
Artinya: “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.”
Usaha yang dilakukan oleh para
sahabat (Khulafaur Rasyidin) dalam menjaga otentitas riwayat tidak sama. Pada
masa Abu Bakar dan Umar, usaha penyaringan diseleksi dengan cara persaksian (syahadah)
terhadad riwayat yang disampaikannya. Pada masa Utsman, penyaringan terhadap
riwayat mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Umar, bahkan diceritakan ia
pernah menyampaikan khutbah dan menyatakan “Seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan
suatu hadits dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa
Abu Bakar dan Umar”. Pada masa Ali, selain melalui persaksian, ia menggunakan
metode lain dalam menerima suatu riwayat yakni dengan disertai sumpah
bahwa ia telah mendengar riwayat dari Rasul. Hukum kebolehan menulis hadits
terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarruj).[4]
Pada saat wahyu turun, umat Islam
berkonsentrasi untuk menghafal dan menulisnya. Sunnah hanya disimpan dalam
dada, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktikkan dalam kehidupan.
Kemudian setelah Al Quran dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu
membedakannya dengan catatan sunnah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al
Quran, sehingga para ulama’ sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian
sunnah. Banyak sekali pada masa awal Islam penulisan hadits sebagai catatan
pribadi bukan penulisan resmi dari khilafah, diantaranya:
1. Ash Shahifah Ash Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash
(w. 65 H), memuat kurang lebih 1000 hadits.
- Ash Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al Anshari (w. 78 H) tentang manasik haji yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
- Ash Shahifah Ash Shahihah, catatan seorang tabi’in Hammam bin Munabbih. Haditsnya banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah sebanyak 138 hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al Bukhari dalam berbagai bab.
- Ash Shahifah ‘Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abu Syah pada masa fath (penaklukan) Makkah.
Selain itu, ada 6 orang di antara sahabat yang tergolong
banyak meriwayatkan hadits ialah:
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah
hadits
2. Abdullah
bin Umar bin Al Khathab sebanyak 2.635 buah hadits
3. Anas
bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits
4.
Aisyah
binti Abu Bakar sebanyak 2.210 buah hadits
5.
Abdullah
bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadits
6.
Jabir
bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits
Para sahabat yang terkenal banyak
meriwayatkan hadits ada beberapa alasan, diantaranya karena lebih dahulu
bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak
berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan
internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah, dan atau karena ketekunannya
dalam Hadits seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah.
Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat pergolakan
politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah, diantaraya Khawarij, Syi’ah
(pendukung Ali), dan Jumhur Muslimin (ada yang mendukung Ali, Mu’awiyah, dan
ada pula yang netral). Akibatnya banyak muncul hadits palsu (maudhu’)
yang dibuat masing-masing kelompok itu untuk membenarkan kelompok mereka
masing-masing. Demikian perhatian para sahabat terhadap sunnah. Mereka mereka
rela meninggalkan kampung halaman dan rela mengorbankan harta benda untuk bekal
perjalanan mencari hadits dari para sahabat senior yang telah tersebar di
berbagai kota dalam tugas dakwahnya.[5]
C.
Hadits pada Periode Tabi’in
Sesudah masa Usman dan Ali timbullah
usaha yang sungguh untuk mencari dan menghafal hadits serta menebarkannya ke
dalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawanan untuk mencari hadits. Pada
tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syam dan Irak. Pada tahun 20 H mengalahkan
Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai
di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menakhlukkan Spanyol. Dalam fase
ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”
yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.
Tabi’in telah belajar kepada para
sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist. Rasulullah dari para guru-guru
mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang
keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter
tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada
hadist yang terkodifikasikan. Pada masa ini persoalan yang dihadapi sudah
berbeda dengan pada masa sahabat. Al Quran sudah. dikumpulkan dalam satu
mushhaf, begitu pula wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, sehingga para
sahabat banyak yang terpencar di berbagai kota dan banyak pula yang telah gugur
dalam peperangan dan sebagainya. Keadaan yang seperti ini mendorong Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) untuk menghimbau adanya penghimpunan dan
pembukuan hadits secara menyeluruh, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran
Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik di kalangan sahabat maupun tabi’in. Namun
pendapat yang paling popular adalah Muhammad bin Muslin bin Asy Syihab Az Zuhri.
Pembukuan hadits yang dilakukan oleh Ibnu Syihab itu merupakan pembukuan secara
umum dan menyeluruh serta atas instruksi langsung dari seorang Khalifah pada
masa pemerintahan Islam saat itu, yakni pada pertengahan awal abad kedua
hijriyah. Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1.
Al
Muwaththa’ yang
ditulis oleh Imam Malik.
2. Al Mushannaf oleh Abdul Rozaq bin Hammam Ash
Shan’ani.
3. As Sunnah oleh Abd bin Manshur.
4. Al Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
5. Musnad Asy Syafi’i.
Diantara tokoh-tokoh
hadits dalam kalangan Tabi’in yang masyur dalalm bidang riwayat:
1.
Madinah:
Sa’id,
Urwah, Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam, Ubaidullah ibn
Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al Qasim
ibn Muhammad ibn Abu Bakar, Nafi’, Az Zuhry, Abul Zinad, Kharijah ibn Zaid, Abu
Salamah ibn Abdir Rahman ibn Auf.
2.
Di Makkah:
Ikrimah,
Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair, Muhammad ibn Muslim.
3.
Di Kufah
Asy Sya’by,
Ibrahim An Nakha’y, Alqamah An Nakha’i
4.
Di Bashrah
Al Hasan,
Muhammad ibn Sirin, Qatadah
5.
Di Syam
Umar ibn
Abdil Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’bul Akbar
6.
Di Mesir
Abu’I
Khair Marstad ibn Abdullah Al Yaziny, Yazid ibn Habib
7.
Di Yaman
Thaus ibn Kaisan Al Yamani, Wahab ibn Munabbih
Kota-kota yang menjadi pusat hadits ialah:
1.
Madinah
Diantara
tokoh-tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan sahabat ialah: Abu Bakar,
Umar, Ali, (sebelum berpindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu
Sa’id Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit. Diantara sarjana-sarjana tabi’in yang
belajar pada sahabat-sahabat itu ialah: Sa’id, Urwah, Az Zuhry, Ubaidillah ibn
Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdullah ibn Umar.
2.
Makkah
Diantara
tokoh hadits Makkah ialah: Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Diantara Tabi’in yang
belajar padanya, ialah: Mujahid, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair
Muhammad ibn Muslim.
3.
Syam
Tokoh
hadits dari sahabat di Syam ini ialah: Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamid dan
Abu Darda. Pada beliau-beliau itulah banyak tabi’in belajar di antaranyan: Abu
Idris Al Khaulany, Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ ibn Haiwah.
4.
Kufah
Ulama
sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah ialah: Ali, Abdullah ibn Mas’ud,
Sa’ad ibn Abi Waqqash, Said ibn Zaid, Khabbab ibn Al Arat, Salman Al Farisy,
Hudzaifah Ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir dan lain-lain[6]
BAB III
KESIMPULAN
Sejarah
hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah
memahaminya, berikut uraiannya pada
Masa Rasul SAW dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan
dengan masa itu cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada
majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan
lain-lain, pemeliharaan hadist melalui hafalan
dan tulisan. Hadist Pada Masa Sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal mbukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an, para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
Kehati-hatian para sahabat dalam hal mbukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an, para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
Hadist pada masa tabi’in, pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat,
sehingga belum ada hadist yang terkodifikasi. karena para tabi’in mengangggap
bahwa nabi
masih tidak secara jelas menyuruh
untuk menulis hadis, sehingga apa yang dilakukan para tabi’n sama dengan para
sahabat. Jadi para sahabat
maupun tabii’in sama – sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis
hadis tapi itu cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi
setelah itu disuruh membakarnya. Begitulah perjalanan prakodifikasi baik pada
masa sahabat maupun tabi’in tidak banyak perubahan, merka masih ,mengandalkan
hafalan.
DAFTAR PUSTAKA
Smerr. Zaid B, 2008, Ulumul Hadits: Pengantar Studi Hadits
Praktis, Malang: UIN Malang
Press
Ash Shiddieqy. Muhammad
Hasbi, 1989, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadit, Jakarta: Bulan
Bintang
[2]
Ibid
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), hlm. 61
[4]
Zaid B Smeer, Ulumul Hadits: Pengantar Studi HaditsPraktis, (Malang: UIN Malang,
2008), hlm. 20
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cid, hlm.69-75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar