BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil
pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat dimasa
itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara
filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka
langsung bertanya kepada Nabi dan umatpun merasa puas dan tentram. Hal itu
berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu
itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi
persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut islam
sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan
lama. Sejak awal permasalahan teologis dikalangan umat islam telah terjadi
perbedaan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Perbedaan tersebut tampak melalui
perdebatan dalam masalah kalam yang akhirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran
dalam islam.
Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang
diperdebatkan bukanlah akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada
malaikat dan lain sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang
membahas bagaimana sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu
termasuk golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Perbedaan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai
macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah,
Jabariyah dan Qodariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam bab ini kita akan
membahas sedikit banyak tentang aliran Qodariyah dan Jabariyah yang juga timbul
akibat dari adanya permasalahan-permasalahan kalam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
qodariyah dan Jabariyah?
2.
Bagaimana latar
belakang kemunculan Qadariyah dan Jabariyah?
3.
Bagaimana
doktrin-doktrin Qadariyah dan Jabariyah?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
pengertian Qadariyah dan Jabariyah.
2.
Untuk mengetahui
latar belakang kemunculan dari Qadariyah dan Jabariyah.
3.
Untuk mengetahui
Doktrin-doktrin dari Qadariyah dan Jabariyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qadariyah
dan Jabariyah
1.
Qadariyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti,
pertama orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas
untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib
manusia telah ditentukan oleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti
menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib. Qadariyah adalah satu aliran
dalam teologi islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama
Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dengan paham tersebut, mereka beranggapan
bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang
terlepas dari kehendak Allah.[1]
Diantara mereka ada yang sangat ekstrim
setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah atas segala sesuatu sebelum
terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa
disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut
mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau
ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya, dia
bisa berpindah kapanpun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau. Dengan
perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri
memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko dosa kalau
berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat.[2]
2.
Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata arab jabara yang berarti zama hubifi’lih
yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai
kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu
perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana
telah ditetapkan Tuhan. Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar
Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau
peluang bagi adanya kebebasan untuk berkehendak dan berbuat menurut
kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah.[3]
Dalam bahasa inggrisnya paham ini
disebut fatalism atau predestination. Dalam kamus Jhon M. Echols, pengertian
fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan
predestination adalah takdir. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama
Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabar
yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah
menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur). Sehingga makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia
telah ditentukan oleh qodo dan qadar Allah. Dalam konteks pemikiran kalam,
istilah Jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk yang terpaksa di hadapan
Tuhan. Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt.
Artinya manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang memnentukan segala-galanya.[4]
Manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan peerbuatannya. Sedangkan secara istilah Jabariyah
adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan
kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur). Masyarakat Arab sebelum islam keliatannya dipengaruhi oleh
faham Jabariyah ini.Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serba sederhana
dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana
padang pasir, dengan panasnya terik serta tanah dan gunung yang gundul. Dalam
dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan
sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri.[5]
B.
Latar belakang
kemunculan Qadariyah dan Jabariyah
Munculnya kedua paham ini tetap
mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawarij dan
Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi islam seorang bernama
Washil bin Atha’ yang lahir di Madinah tahun 700 M dan mendirikan aliran
teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal
dengan nama Mu’tazilah. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam islam
paham Qadariyah dan paham Jabariyah atau fatalism. Tak dapat diketahui dengan
pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi
islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi islam, bahwa golongan ini
dimunculkan pertama kali dalam islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah.
Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah
seorang Nasrani yang masuk islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil
oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailan al-Dimasyqi.
Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah
Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn
al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad
al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80
H.[6]
Paham Qadariyah yang muncul sekitar
tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa
manusia mampu mewujudkan tindakan atau pebuatannya sendiri. Tuhan tidak campur
tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi
karena qada dan qadar. Ma’bad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah
yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri
yang juga merupakan guru Washil bin Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah. Paham free
will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak
(qudrah) dan memilih atau berkehendak (iradah). Qadariyah merupakan tantangan
bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskan dapat
membangkitkan pemberontakan. Dengan paham ini maka setiap tindakan bani Umayyah
yang negative, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Paha mini tertampung
dalam madzab Mu’tazilah. Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailan al- Dimasyqi
sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia
mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M ). Setelah Umar
wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya ia mati dihukum
oleh Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M/ 105-125 H). Ghailan mengembangkan
ajaran Qadariyah sampai ke Iran[7].
Menurut Ibn Nabatah dalam bukunya syarh
al-uyun, Ma’bad al-Juhany dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Kristen
yang masuk islam di Iraq. Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang yang
baik, tetapi ia memasuki kawasan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn Asy’as
dalam menentang kekuasaan Bani Umayah. Asal-usul kemunculan Qadariyah menurut:
a.
Pendapat Ahmad
Amin
Kapan Qadariyah
muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan.
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama
kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhany dan Ghailan Ad-Dimayqy. Ma’bad adalah
seorang atba’tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan
ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
a.
Pendapat W.
Montgomery
Sementara itu W.
Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam
bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der islam pada tahun 1933.
Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah
atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas berdasarkan
catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk. Seperti dikutip
Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhany pernah belajar pada Hasan
Al-Basri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh
Hasan Al-Basri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah
Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang
masuk islam kemudian kembali lagi Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang
tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang yang tidak tertarik dengan
pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutib Ignaz Goldziher,
dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin
Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.[8]
Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal
dengan paham Jabariyah sebagai paham antitesa dari paham Qadariyah. Paham
Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh
pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam
buku Sarh al-Uyun dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang
Yahudi di Syam, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat
itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan
ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena
orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya. Golongan muslim
yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin Dirham,
tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwan dari
Khurasan mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar
luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang
mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham
Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah
disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan.[9]
Sebagai sekretaris Syurayh ibn al- Harits, ia turut
dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm
ditangkap dan dihukum mati 131 H. Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham
ini juga dipergunakan oleh budaya politik suatu tempat dan keadaan. Golongan
Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman
penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan
oleh Yazid bin Mu’awiyah waktu dia menerima kepala Sayidina Husain bin Abi
Thalib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat Al-Qur’an QS.
Ali Imran (3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yazid bermaksud mengatakan
bahwa apa yang diderita oleh Husain bin Ali yang dbunuh dengan kejam oleh
serdadu Yazid bin Mu’awiyah adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yazid
dan serdadunya. Agar umat islam yang mendukung
Husain tidak marah atau dendam, karena itu takdir Tuhan.[10]
C.
Doktrin-doktrin
Qadariyah dan Jabariyah
1.
Doktrin aliran
Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Seseorang
diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran
siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan
pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan
kemampuannya sendiri. Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam
pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang
mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,
sejak azali yaitu hukum yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah. Secara
alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berubah, kecuali mengikuti hukum
alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan
yang mampu berenang di lautan bebas. Demikian juga manusia tidak mempunyai
kekuatan. Seperti gajah yang mampu membawa barang berarus kilogram, akan tetapi
manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.[11]
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghalian tentang doktrin qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alas an yang tepat untuk
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Ayat-ayat
Al-qur’an yang mendukung faham ini adalah:
3.
QS Al-Kahfi: 29
Artinya: “
Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”.(QS. Al-Kahfi: 29)
4.
QS Ali Imran: 165
Artinya: “ dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah ( pada peperangan uhud), padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: “ Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “ Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Ali Imran : 165).[12]
Hampir semua
paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunah wa
al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum Qadariyah diantaranya adalah:
a. Meletakkan
posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua
perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan
untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah SWT. Jadi manusia
mendapatkan surge dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena
takdir. Paha mini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.
b. Kaum
Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka
Allah mengetahui semuanya dengan zatNya,dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta
hidup dengan zatNya, bukan degan sifat-sifat qadimnya tersebut. Mereka juga mengatakan,
kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah
lebih dari satu.
c. Takdir
merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman azali,
yaitu hukum yang dalam Al-qur’an disebut sunatullah, seperti matahari terbit
dari timur,rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
d. Kaum
qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan
sesuatu menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk
karena dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti
keadaan segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya,
begitu sebaliknya.[13]
2.
Doktrin aliran Jabariyah
Menurut
Asy-Shahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
kelompok ekstrim
dan moderat. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
a.
Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm
yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)
Manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini
lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan
di akhirat.
2)
Surga dan neraka
tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman adalah
ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
4)
Kalam Tuhan
adalah makhluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat
dengan indra mata di akhirat kelak.
b.
Ja’d bin Dirham
Doktrin pokok
Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai
berikut:
1)
Al-Qur’an itu
adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2)
Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar.
3)
Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang
termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
a.
An-Najjar
Diantara
pendapat-pendapatnya adalah:
1)
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar
tidak lagi seperti wayang yang digerakkannya tergantung pada dalang, sebab
tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2)
Tuhan tidak
dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi An-Najjar, menyatakan bahwa Tuhan dapat
saja memindahkan poternsi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
b.
Adh-Ddirar
Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak
hanya merupakan wayang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya
dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas Dirrar
mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara
bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan
perbutan-perbuatannya. Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra ke enam. Ia juga berpendapat
bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihat.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Aliran
Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi dua yakni jabariyah
ekstrim dan moderat, disebut jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia sendiri,
tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Sedangkan disebut sebagai
jabariyah moderat adalah karena karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai
bahwasanya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia
adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/ meninggalkan sesuatu atas
kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantarannya adalah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak
dan daya nya sendiri. Kedua aliran diatas sangatlah bertolak belakang dalam
setiap pendapat dan doktrin-doktrinnya, dan masing-masing memiliki
landasan-landasan dari Al-Qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: Universitas
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar