Senin, 09 Mei 2016

Ilmu Kalam (Aliran Jabariyah dan Qadariyah)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat dimasa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umatpun merasa puas dan tentram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Sejak awal permasalahan teologis dikalangan umat islam telah terjadi perbedaan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah kalam yang akhirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran dalam islam.
 Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang diperdebatkan bukanlah akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada malaikat dan lain sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas bagaimana sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu termasuk golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Perbedaan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam bab ini kita akan membahas sedikit banyak tentang aliran Qodariyah dan Jabariyah yang juga timbul akibat dari adanya permasalahan-permasalahan kalam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qodariyah dan Jabariyah?
2.      Bagaimana latar belakang kemunculan Qadariyah dan Jabariyah?
3.      Bagaimana doktrin-doktrin Qadariyah dan Jabariyah?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Qadariyah dan Jabariyah.
2.      Untuk mengetahui latar belakang kemunculan dari Qadariyah dan Jabariyah.
3.      Untuk mengetahui Doktrin-doktrin dari Qadariyah dan Jabariyah

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qadariyah dan Jabariyah
1.                  Qadariyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan oleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib. Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah.[1]
Diantara mereka ada yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah atas segala sesuatu sebelum terjadi. Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya, dia bisa berpindah kapanpun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat.[2]
2.                  Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata arab jabara yang berarti zama hubifi’lih yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan. Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah.[3]
Dalam bahasa inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination. Dalam kamus Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Sehingga makna secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh qodo dan qadar Allah. Dalam konteks pemikiran kalam, istilah Jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan. Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang memnentukan segala-galanya.[4]
Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan peerbuatannya. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Masyarakat Arab sebelum islam keliatannya dipengaruhi oleh faham Jabariyah ini.Bangsa Arab, yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya terik serta tanah dan gunung yang gundul. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri.[5]



B.     Latar belakang kemunculan Qadariyah dan Jabariyah
Munculnya kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawarij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi islam seorang bernama Washil bin Atha’ yang lahir di Madinah tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam islam paham Qadariyah dan paham Jabariyah atau fatalism. Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk islam di Irak. Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailan al-Dimasyqi.
Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H.[6]
Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau pebuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Washil bin Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah. Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (iradah). Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskan dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham ini maka setiap tindakan bani Umayyah yang negative, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Paha mini tertampung dalam madzab Mu’tazilah. Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailan al- Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M ). Setelah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M/ 105-125 H). Ghailan mengembangkan ajaran Qadariyah sampai ke Iran[7].
Menurut Ibn Nabatah dalam bukunya syarh al-uyun, Ma’bad al-Juhany dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk islam di Iraq. Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang yang baik, tetapi ia memasuki kawasan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayah.  Asal-usul kemunculan Qadariyah menurut:
a.       Pendapat Ahmad Amin
Kapan Qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhany dan Ghailan Ad-Dimayqy. Ma’bad adalah seorang atba’tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
a.       Pendapat W. Montgomery
Sementara itu W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas memilih antara berbuat baik atau buruk. Seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhany pernah belajar pada Hasan Al-Basri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Basri, dengan demikian keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang masuk islam kemudian kembali lagi Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang yang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutib Ignaz Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.[8]
Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai paham antitesa dari paham Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-Uyun dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Syam, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya. Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwan dari Khurasan mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan.[9]
Sebagai sekretaris Syurayh ibn al- Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati 131 H. Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik suatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yazid bin Mu’awiyah waktu dia menerima kepala Sayidina Husain bin Abi Thalib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat Al-Qur’an QS. Ali Imran (3) ayat 26. Dengan mengemukakan ayat ini, Yazid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin Ali yang dbunuh dengan kejam oleh serdadu Yazid bin Mu’awiyah adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yazid dan serdadunya. Agar umat islam yang mendukung  Husain tidak marah atau dendam, karena itu takdir Tuhan.[10]

C.     Doktrin-doktrin Qadariyah dan Jabariyah
1.                  Doktrin aliran Qadariyah
Segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri. Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali yaitu hukum yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah. Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berubah, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang di lautan bebas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu membawa barang berarus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.[11]
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alas an yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Ayat-ayat Al-qur’an yang mendukung faham ini adalah:
3.                  QS Al-Kahfi: 29
Artinya: “ Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”.(QS. Al-Kahfi: 29)
4.                   QS Ali Imran: 165
Artinya: “ dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah ( pada peperangan uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “ Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “ Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran : 165).[12]
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum Qadariyah diantaranya adalah:
a. Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah SWT. Jadi manusia mendapatkan surge dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena takdir. Paha mini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.
b. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya,dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan degan sifat-sifat qadimnya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.
c. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-qur’an disebut sunatullah, seperti matahari terbit dari timur,rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
d. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.[13]

2.                   Doktrin aliran Jabariyah
Menurut Asy-Shahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
kelompok ekstrim dan moderat. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
a.       Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)                  Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2)                  Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)                  Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
4)                  Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
b.      Ja’d bin Dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut:
1)                  Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)                  Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3)                  Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
a.       An-Najjar
Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
1)                  Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang digerakkannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2)                  Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi An-Najjar, menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan poternsi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b.      Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbutan-perbuatannya. Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihat.[14]
                                   









BAB III
KESIMPULAN


Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat, disebut jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah karena karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai bahwasanya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/ meninggalkan sesuatu atas kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantarannya adalah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan daya nya sendiri. Kedua aliran diatas sangatlah bertolak belakang dalam setiap pendapat dan doktrin-doktrinnya, dan masing-masing memiliki landasan-landasan dari Al-Qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          


DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
                                     


[3]  Ibid
[5]               Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 31
[8]  Ibid
[9]  Ibid
[11]  Ibid
[13]  Ibid
[14]  ibi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar